Selasa, 13 November 2007

Menghibur Diri dari Ancaman Minyak

Dua pekan lalu, ketika pemerintah baru memulai kerja selepas cuti panjang lebaran, bangsa ini dikagetkan oleh melonjaknya harga minyak mentah dunia yang menembus level 90 dolar per barel.

Kala itu pemerintah -- dalam keterangan resmi yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro – menyatakan kenaikan harga minyak tidak akan mempengaruhi APBN.

Beberapa hari kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkuat pernyataan itu, yang bahwa kenaikan harga minyak mentah itu justru meningkatkan pendapatan negara, walaupun pengeluaran juga akan meningkat karena negeri ini mengimpor minyak. Maka, berbeda dengan pemerintah di negara-negara lain yang mencari alternative solusi, pemerintah Indonesia tampak adem-adem saja meski harga minyak melonjak menuju ke level 100 dolar per barel.

Realita di masyarakat bertolak belakang dengan pernyataan pejabat itu. Kenaikan harga minyak telah mendongkrak sbiaya bagi kalangan industri dan kenaikan harga-harga berbagai produk, komoditas, dan sektor jasa. Namun, pemerintah tetap bergeming.

Entah karena pemerintah yang diam saja atau bukan, Bank Indonesia memaparkan simulasi kenaikan harga minyak dan dampaknya terhadap ekonomi nasional. Seaakan mengajarkan ekonomi, simulasi itu memaparkan bahwa setiap peningkatan harga minyak rata-rata 10 dolar AS per barel dalam setahun akan mendorong kenaikan inflasi 0,2 persen dan penurunan pertumbuhan ekonomi 0,3 persen.

Kenaikan tersebut membuat konsumsi pemerintah meningkat 0,9 persen dan investasi pemerintah meningkat 1,9 persen. Sedangkan sektor swasta, konsumsi akan turun 0,9 persen dan investasi juga turun 0,14 persen. Untuk Eksport diperkirakan relatif stabil sedang impor akan turun 0,3 persen.

Dalam analisa BI bila harga minyak 60 dolar AS per barel maka pertumbuhan ekonomi 6,54 persen dan infalsi 6,1 persen. Pertumbuhan tersebut turun menjadi hanya sebesar 5,94 persen pada harga minyak 95 dolar per barel. Sedangkan inflasinya bajkal melesar mencapai 6,8 persen. Kondisi ini bakal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun bagi neraca pembayaran Indonesia (NPI) berpengaruh positif. Namun dampak positif tersebut tercapai jika permintaan konsumsi minyak domestik tidak meningkat, yang diasumsikan 396,2 juta barel pada 2008 dan ekspor komoditas tidak turun.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyadari bahwa keniakan harga minyak memiliki multiplayer effect yang tinggi terhadap harga-harga barang dan jasa lainnya. Target inflasi 2007 sebesar 6 persen juga tercam meleset, tergantung pada harga minyak.

Data BPS menunjukkan neraca pedagangan minyak mentah Indonesia sudah berada dalam kondisi defisit. Pada Januari-September 2007 nilai ekspor minyak mentah sebesar 6,309 milair dolar AS, sedangkan impor minyak mentah sudah mencapai 6,431 miliar dolar AS. Defisit neraca perdagangan minyak mentah ini yang pertama terjadi dalam sejarah Indonesia.

Data dari Departemen Keuangan dan Departemen ESDM juga menujukkan defisit. Setiap kenaikan harga minyak 1 dolar AS per barel, penerimaan negara naik Rp 3,34 triliun. Tapi, subsidi BBM dan listrik naik sebesar 3,77 triliun. Mencermati ini, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasmita mengingatkan bahwa sebagai net importer, Indonesia mengimpor BBM yang harganya lebih mahal daripada minyak mentah yang dijual.

Entah apa yang membuat pemerintah seakan masih berusaha menutupi ancaman dari kenaikan minyak dalam era informasi yang terbuka ini. Ungkapan bahwa kenaikan harga minyak jusru menguntungkan boleh hanya ungkapan menghibur diri saja, setelah sejumlah kebijakan ekonomi gagal diimplementasikan dengan baik. Apakah amanah yang diberikan rakyat itu hanya untuk penghibur diri?
www.inn-world.com

Tidak ada komentar: