Senin, 02 Juni 2008

Korupsi Birokrasi dan Hancurnya Bangsa

Gerakan memberantas korupsi di negeri ini tampaknya masih jauh panggang dari api. Walaupun sejumlah gebrakan dilakukan oleh lembaga penegakan hukum yang ada, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun tampaknya tidak membuat jera para koruptor, terutama di unsur birokrasi.

Buktinya, korupsi, suap, pungutan liar, masih kerap terjadi. Baik itu dalam proses proyek, tender, maupun perizinan dan pelayanan publik. Ada yang terang-terangan, ada juga yang diam-diam. Baik terang-terangan atau diam-diam, dua-duanya sama… korupsi.

Praktik korupsi pun kini seakan semakin canggih. Dalam proses tender, misalnya, sebenarnya secara proses sudah dilakukan terbuka: diumumkan di surat kabar dan situs online dan siapapun boleh mengikuti tender tersebut. Pembayaran proyek pun dilakukan satu pintu melalui Kantor Pembendaraan Negara (KPN).

Namun, dalam praktiknya, korupsi ternyata lebih canggih dari prosedur itu. Peserta tender tetap saja bisa dipermainkan. Misalnya, dengan memberikan uang pelincin (suap) dahulu, atau komitmen pemberian komisim, dan sejenisnya. Bahkan, ada juga yang sudah “ditentukan” pemenangnya, sehingga tender itu merupakan proses legalitas formal saja.

Bahkan, lebih berani lagi dengan memalsukan iklan di surat kabar. Seperti halnya yang baru-baru ini terungkap dalam kasus korupsi saut lembaga pemerintah/publik, misalnya, pelakunya berani mencetak sendiri – dalam jumlah terbatas -- iklan tender seakan-akan dimuat di surat kabar tersebut. Padahal dalam surat kabar tersebut yang beredar di masyarakat tidak tercantum iklan tersebut. Dengan dicetak terbatas, tentu hanya pihak yang terkait – dan pemenang tendernya -- saja yang mengetahui iklan tersebut.

Ini baru salah satu modus saja yang dilakukan koruptor di lembaga-lembaga birokrasi negeri ini. Modus lainnya, sangat banyak. Mereka boleh dibilang canggih. Bahkan, lebih canggih dari kasus suap, korupsi, yang ditayangkan di film-film.

Dalam pelayanan publik korupsi tampak secara kasat mata. Misalnya, dalam pengurusan KTP, SIM, ijin usaha, dan sejenisnya. Dengan vulgas, para petugas di loket pelayanan publik tersebut mengungkapkan biaya yang harus dibayarkan masyarakat dengan tarif tidak resmi. Banyak istilah yang digunakan, sebagai “uang administrasi” atau lainnya. Bila tidak memberikan dana tersebut, bisa jadi surat yang diperlukan tidak diurus sebagaimana mestinya. Atau lambat prosesnya.

Nah, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jumat (30/5) lalu, patut diberi acungan jempol. Dengan ditemukannya sejumlah uang yang diduga hasil suap, membuktikan sinyalemen yang selama ini muncul bahwa pelayanan Bea dan Cukai menjadi ladang korupsi.

Betapa kronisnya korupsi di negeri ini, pemberian gaji yang lebih tinggi bagi aparat Bea dan Cukai dibandingkan PNS lainnya tidak menjamin memberikan pelayanan yang baik dan bersih. Korupsi telah membudaya dan mendarah daging di unsur birokrasi.

Kita berharap, apa yang dilakukan KPK itu dapat menjadi shock therapy bagi unsur birkorasi di negeri ini. KPK, seperti yang dinyatakan oleh pimpinannya, akan menggeledah pelayanan publik-pelayanan publik lainnya. Bila ini dilakukan, tentu sangat baik dan harus membuat jera para pelakunya.

Para birokrat, harus menyadari bahwa korupsi telah merugikan negeri ini. Karena korupsi, kemiskinan masih marak di Indonesia. Karena korupsi, ekonomi dilandar krisis. Karena korupsi aset-aset negara dikuasai asing. Karena korupsi, ekonomi tidak merata di negeri ini. Karena korupsi, kesejangan sosial semakin melebar.

Kemunduran dan handurnya bangsa ini adalah lantaran korupsi…

Tidak ada komentar: